Mengapa Gamer Indonesia Kecanduan Game Gacha? Berikut Penjelasannya!

- Mekanisme Gacha dan Psikologi DibaliknyaSistem randomized rewards memicu kecanduan, dipicu oleh pelepasan dopamin di otak saat mencoba mendapatkan karakter langka. Fitur pity system membuat pemain merasa terus mencoba peruntungan.
- Visual, Cerita, dan Daya Tarik Emosional Game GachaPresentasi visual yang indah dan narasi imersif menciptakan ikatan emosional kuat antara pemain dan karakter virtual. Jalan cerita yang panjang membuat pemain ingin terus kembali.
- FOMO dan Event Terbatas: Strategi yang Membuat Gamer Tak Bisa BerhentiKetakutan akan ketinggalan mendorong pemain untuk login setiap hari, mengumpulkan in-game currency, bahkan melakukan top-up demi mendapatkan karakter langka
Industri game di Indonesia sudah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, tapi ada satu genre (sebenarnya bukan genre juga, sih) yang mencuri perhatian secara masif, yaitu game gacha. Mulai dari Genshin Impact, Honkai: Star Rail, hingga Wuthering Waves, jutaan gamer Tanah Air rela menghabiskan waktu, kuota internet, bahkan uang jajannya demi mengejar satu karakter langka.
Di tahun 2025, tren tersebut semakin menguat. Akses internet makin cepat, smartphone makin murah, dan konten gacha makin menggoda. Tapi dibalik keseruannya, muncul pertanyaan besar yang harus kita jawab sendiri, apakah game seperti ini masih dalam koridor hiburan, atau sudah menjadi bentuk kecanduan digital terselubung?
Melalui artikel ini, kami akan membedah berbagai sisi dari kecanduan game gacha di Indonesia, mulai dari mekanisme sistemnya yang mirip judi, hingga dampaknya terhadap psikologis dan finansial pemain muda. Kita juga bakal menyoroti bagaimana komunitas dan budaya lokal ikut memperkuat daya tarik game-game ini di kalangan anak muda Indonesia.
1. Mekanisme Gacha dan Psikologi Dibaliknya

Salah satu alasan utama mengapa game gacha bisa sangat adiktif adalah karena sistemnya yang mengandalkan elemen acak alias randomized rewards. Saat pemain melakukan "pull" untuk mendapatkan karakter atau senjata, hasilnya tidak bisa ditebak. Ketidakpastian tersebut memicu pelepasan dopamin di otak—zat kimia yang sama-sama terlibat dalam aktivitas seperti berjudi atau makan makanan favorit.
Maka tak heran, banyak gamer merasa "ketagihan" dan ingin terus mencoba peruntungan, terutama saat melihat orang lain mendapatkan karakter idamannya hanya dalam satu kali pull.
Uniknya, game gacha seperti ini juga menyematkan fitur pity system, yang menjanjikan hadiah pasti setelah sejumlah percobaan tertentu. Ada banyak orang yang menciptakan ekspektasi "Tinggal beberapa pull lagi pasti dapat!" Tapi justru inilah jebakan yang membuat mereka rela merogoh kocek lebih dalam atau bermain tanpa henti hanya untuk mengejar satu karakter.
Berdasarkan observasi penulis di sosial media, beberapa orang bahkan mengaku pernah melakukan lebih dari 80 pull dalam sehari hanya karena “sudah terlalu dekat” dengan guarantee reward-nya. Di sinilah kita bisa melihat bagaimana sistem seperti ini sangat mempengaruhi keputusan emosional pemain, bahkan seringkali di luar logika.
2. Visual, Cerita, dan Daya Tarik Emosional Game Gacha

Selain mekanisme acaknya, daya tarik game gacha juga berasal dari presentasi visual yang indah dengan bumbu narasi imersif. Game gacha seperti Genshin Impact, Honkai: Star Rail, dan Wuthering Waves tak hanya menyuguhkan gameplay seru, tapi juga experience sinematik yang mirip seperti saat menonton film. Karakter-karakter dengan desain estetik — dari waifu berwajah manis hingga husbando bergaya cool — dipadukan dengan pengisi suara profesional, menciptakan ikatan emosional kuat antara pemain dan sang karakter virtual.
Bagi banyak gamer Indonesia, aspek ini sangat resonan dan menganggap karakter fiksi tersebut seperti “teman sendiri”. Visual yang memesona, kostum yang terus diperbarui, hingga animasi khusus saat melakukan ultimate skill, semuanya didesain guna menciptakan immersive attachment yang membuat pemain merasa terhubung secara pribadi.
Kemudian, jalan cerita yang panjang juga membuat pemain ingin terus kembali untuk melihat kelanjutannya. Beberapa karakter bahkan memiliki quest pribadi, yang dibuat untuk memperkuat kesan bahwa mereka adalah bagian dari dunianya. Di sinilah muncul fenomena "emotional investment," dimana pemain merasa sudah terlalu dalam secara emosional untuk berhenti.
Desain ini sangat efektif untuk menarik pemain baru, sembari menjaga loyalitas pemain lama. Apalagi saat ada event atau banner terbatas yang menampilkan karakter-karakter populer, dorongan untuk pull pun tidak hanya didasari pada mekanisme game, tapi juga oleh rasa tak ingin ketinggalan momen spesial.
3. FOMO: Strategi yang Membuat Gamer Tak Bisa Berhenti

Jika berbicara soal game gacha, satu hal yang sangat efektif dalam menjaga keterlibatan pemain adalah limited event-nya. Kebanyakan game berunsur gacha amat rutin merilis banner eksklusif yang hanya tersedia dalam jangka waktu tertentu — biasanya 2–3 minggu. Karakter-karakter baru yang hanya muncul sesekali ini menciptakan fenomena yang dikenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out) di kalangan gamer Indonesia.
Ketakutan akan ketinggalan ini tidak bisa dianggap remeh. Banyak pemain merasa terdorong untuk login setiap hari, mengumpulkan in-game currency, bahkan rela melakukan top-up demi mendapatkan karakter langka sebelum banner berakhir, dan perlu dicatat, nominal uang yang perlu dikuras untuk satu karakter saja bisa mencapai Rp 1 jutaan jika kamu sedang sial. Hal ini diperparah dengan munculnya konten showcase di media sosial — seperti video pull, build karakter, atau damage test — yang diunggah oleh influencer atau teman sekomunitas.
Budaya "flexing karakter baru" di platform seperti Facebook, X (Twitter), dan Instagram Reels pun memperkuat tekanan sosial secara tidak langsung. Ketika seseorang memamerkan bahwa mereka berhasil mendapatkan karakter baru bermodalkan 10 pull saja, pemain lain merasa terdorong untuk mencobanya juga — meskipun sebenarnya tidak punya sumber daya in-game yang cukup.
FOMO ini juga diperkuat oleh event berhadiah khusus, yang hanya bisa diakses jika pemain memiliki karakter tertentu. Alhasil, bukan hanya estetika atau koleksi yang dikejar, tetapi juga fungsi gameplay yang dipertaruhkan. Pemain yang tidak memiliki karakter dari banner tersebut mungkin merasa tertinggal atau tidak bisa bersaing dalam konten terbaru.
Di sinilah strategi pengembang game gacha bekerja sangat efektif, mereka menciptakan siklus ketergantungan jangka panjang yang membuat pemain terus kembali — baik karena rasa penasaran, tekanan sosial, atau kekhawatiran tidak ikut tren.
4. Ketiadaan Regulasi yang Membuat Situasi Makin Rumit
Salah satu faktor yang membuat game gacha begitu populer di Indonesia adalah aksesibilitasnya. Kebanyakan game gacha bisa dimainkan secara gratis (free-to-play), dengan kualitas grafis tinggi yang tetap bisa dinikmati oleh pengguna smartphone kelas menengah. Namun, di balik model freemium tersebut tersembunyi sistem monetisasi yang sangat halus tapi berbahaya.
Dengan harga yang relatif terjangkau — mulai dari Rp15.000 untuk top-up kecil-kecilan — banyak remaja dan pelajar tergoda untuk “coba-coba”. Lama-kelamaan, kebiasaan ini bisa berkembang menjadi pengeluaran impulsif, terutama ketika dikaitkan dengan event terbatas dan rasa FOMO seperti yang telah dibahas sebelumnya. Banyak gamer muda tidak menyadari bahwa mereka telah menghabiskan ratusan ribu hingga jutaan rupiah demi mengejar karakter idaman.
Yang lebih mengkhawatirkan, regulasi mikrotransaksi di Indonesia masih sangat longgar. Tidak ada batasan usia yang ketat atau verifikasi identitas yang jelas saat melakukan pembelian di dalam game. Anak-anak dan remaja dapat dengan mudah menggunakan akun e-wallet atau voucher digital untuk bertransaksi tanpa ada pengawasan orang tua.
Fenomena ini menciptakan masalah jangka panjang, seperti:
Kurangnya literasi finansial di kalangan remaja
Stres dan rasa bersalah setelah gagal mendapatkan hadiah
Kecanduan berjudi terselubung karena mekanisme loot box yang menyerupai perjudian
Beberapa kasus bahkan menunjukkan bahwa pemain tetap bermain meskipun sudah merasa lelah atau kecewa karena mengidap sunk cost fallacy — yaitu merasa harus terus bermain karena sudah terlalu banyak waktu dan uang yang diinvestasikan.
5. Komunitas, Konten Sosial, dan Tekanan Tak Terlihat

Di era media sosial, game gacha telah menjadi bagian dari gaya hidup digital dan interaksi sosial, terutama di kalangan gamer muda Indonesia. Fenomena “flexing gacha” — yaitu memamerkan hasil pull yang beruntung atau artefak dengan statistik sempurna — bukan lagi hal yang asing di telinga. Banyak pemain mengunggah video reaksi saat mendapatkan karakter langka, menciptakan konten pull compilation, bahkan membuat meme dari kegagalan atau keberhasilan mereka.
Namun, di balik keseruannya, ada tekanan yang tak bisa kita lihat secara langsung. Pemain yang tidak punya karakter terbaru atau artefak meta sering merasa tertinggal dari kebanyakan player. Diskusi-diskusi yang awalnya bersifat suportif bisa berubah menjadi perbandingan halus antar pemain. Akibatnya, banyak yang terdorong untuk tetap bermain, top-up, atau mengikuti event, bukan karena ingin — tapi karena takut dianggap “noob” atau ketinggalan zaman.
Komunitas juga menjadi ekosistem bagi para konten kreator dan influencer, yang tanpa disadari memperkuat hype game gacha. Ketika seorang YouTuber atau TikToker membagikan hasil pull dengan editan keren dan musik jedag-jedug, ribuan penonton bisa ikut merasa “gatal” ingin mencoba. Disinilah siklus sosial terjadi, komunitas menciptakan ekspektasi, dan ekspektasi mendorong perilaku konsumtif.
6. Dampak Psikologis dan Finansial
Di balik kesenangan bermain dan euforia saat mendapatkan karakter langka, game gacha menyimpan potensi dampak psikologis dan finansial yang tidak bisa diabaikan — terutama bagi pemain muda.
Banyak pemain melaporkan munculnya perasaan menyesal, stres, bahkan cemas setelah gagal mendapatkan karakter yang diincar. Ketika mereka telah menghabiskan banyak waktu dan uang, namun tidak mendapat hasil yang diharapkan, muncul rasa kecewa yang dalam. Ironisnya, perasaan itu justru membuat mereka terus bermain karena muncul sunk cost fallacy, merasa sudah terlalu banyak investasi, jadi tidak mungkin berhenti sekarang.
Gejala lain yang sering muncul antara lain:
Impulsif spending: melakukan pembelian tanpa berpikir panjang saat ada banner baru
Emotional swings: merasa euforia saat pull sukses, lalu depresi saat gagal
Gaming fatigue: tetap bermain walau tidak lagi menikmati, demi “mengejar ketinggalan”
Banyak orang mulai menyamakan mekanisme gacha dengan bentuk perjudian digital terselubung — karena mengandalkan sistem acak berbayar, menawarkan hadiah virtual, dan menciptakan ketegangan emosional yang mirip dengan mesin slot.
Sayangnya, di Indonesia, kesadaran terhadap risiko ini masih amat rendah. Minimnya edukasi literasi digital dan finansial membuat banyak gamer muda tidak sadar bahwa mereka sedang terjebak pada pola adiktif. Tanpa pengawasan atau kontrol, gacha bisa menjadi kebiasaan yang merusak, bukan hanya secara finansial, tapi juga kesejahteraan mental.
7. Masa Depan Game Gacha di Indonesia

Dengan meningkatnya penetrasi internet, akses 5G, dan kian terjangkaunya smartphone, game gacha diprediksi akan terus mendominasi pasar gaming Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Rilis besar seperti Arknight Enfield dan Ananta hanya bakal memperkuat tren tersebut.
Namun, seiring pertumbuhan ini, penting bagi kita — baik sebagai pemain, orang tua, maupun pengamat industri — untuk lebih sadar akan risiko dan tanggung jawab yang menyertainya. Game gacha bisa menjadi hiburan luar biasa jika dimainkan dengan bijak, tetapi bisa juga menjadi perangkap emosional dan finansial jika tidak ada kendali.
Beberapa langkah yang bisa diambil ke depan:
Edukasi literasi finansial dan digital di kalangan remaja dan pelajar
Transparansi sistem loot box oleh pengembang game
Regulasi mikrotransaksi dan batas usia oleh pemerintah
Fitur kontrol orang tua yang lebih efektif di platform game
Konten edukatif dari influencer gaming, bukan hanya promosi saja
Gamer Indonesia adalah komunitas yang kreatif, passionate, dan besar potensinya. Tapi agar ekosistem ini sehat dan berkelanjutan, kesadaran kolektif harus dibangun, jadi tidak selalu soal gameplay, tapi juga soal dampak nyata di dunia nyata.
Game gacha telah mengubah cara orang Indonesia bermain game, yang tadinya hanya sekadar hiburan semata, malah memicu emosi, dan kadang tekanan. Sistem gacha sangat adiktif karena kombinasi event terbatas, dan sistem monetisasi yang "pintar". Di tengah ledakan popularitasnya, tantangan terbesar kita sekarang adalah membuat para player lebih sadar.
Main boleh, tapi jangan sampai lupa kendali. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya soal karakter virtual, tapi juga kesehatan mental dan dompet kamu.